Agresi adalah tingkah laku yang
diarahkan kepada tujuan untuk menyakiti makhluk hidup lainnya yang ingin
menghindari perlakuan semacam itu. Hal ini juga termasuk dalam agresi manusia
yang dimaksud adalah siksaan yang diarahkan secara sengaja dari berbagai bentuk
kekerasan terhadap orang lain. Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena
unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku
agresi. Rasa sakit akibat tidakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan
bukan termasuk agresi. Sebaliknya, niat menyakiti orang lain namun tidak
berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai perilaku agresi.
Dalam psikologi dan ilmu sosial
lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku yang dimaksudkan untuk membuat
objeknya mengalami bahaya atau kesakitan. Agresi dapat dilakukan secara verbal
atau fisik. Perilaku yang secara tidak sengaja menyebabkan bahaya atau sakit
bukan merupakan agresi. Pengrusakan barang dan perilaku destruktif lainnya juga
termasuk dalam definisi agresi.
Agresi tidak sama dengan ketegasan
Ada tiga perbedaan penting.
- Apakah kita mendefinisikan agresi sebagai perilaku melukai, ataukah mempunyai maksud melukai disebut juga agresi. Definisi yang paling sederhana dan yang paling disukai oleh orang yang menggunakan pendekatan behaviorisme, adalah bahwa agresi merupakan perilaku yang melukai orang lain. Keuntungan definisi ini adalah bahwa perilaku itu yang menentukan apakah suatu tindakan bisa dikatakan agresi atau tidak.
- Antara agresi antisosial dan prososial. Biasanya kita menganggap agresi sebagai sesuatu yang buruk. Memang, tindakan agresif yang timbul dengan maksud untuk melukai seseorang adalah hal yang buruk. Tetapi ada perilaku agresi yang baik. Kita menghargai polisi yang telah menembak seorang teroris. Yang menjadi masalah apakah tindakan agresif melanggar atau mendukung norma sosial itu telah disepakati. Tindakan kriminal seperti membunuh, kekerasan dan pemukulan jelas melanggar norma sosial disebut antisosial. Sedangkan tindakan prososial adalah yang sesuai dengan hukum, seperti disiplin yang diterapkan orangtua atau kepatuhan terhadap komandan perang dianggap penting.
- Antara perilaku agresi dan perasaan agresi. Misalnya, seperti rasa marah. Perilaku kita yang nampak belum berarti mencerminkan perasaan internal kita. Bisa saja, seseorang yang merasa sangat marah, tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain.
FAKTOR PENYEBAB PERILAKU AGRESI
A. Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki
ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan
tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang
mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, Psikologi suatu
pengantar 1991). Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju,
menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam.
Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak
dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah.
Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan
akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang
jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi.
B. Faktor Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang
mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff, 1991):
- Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
- Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.
- Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.
C. Kesenjangan Generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah
(Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk
hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung.
Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab
timbulnya perilaku agresi pada anak. permasalahan generation gap ini
harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak
permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik,
kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.
D. Lingkungan
1) Kemiskinan
Bila seorang anak dibesarkan dalam
lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami
penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff, 1991). Hal ini dapat kita lihat dan
alami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota Jakarta, di perempatan jalan dalam
antrian lampu merah (Traffic Light) anda biasa didatangi pengamen cilik
yang jumlahnya lebih dari satu orang yang berdatangan silih berganti. Bila anda
memberi salah satu dari mereka uang maka anda siap-siap di serbu anak yang lain
untuk meminta pada anda dan resikonya anda mungkin dicaci maki bahkan ada yang
berani memukul pintu mobil anda jika anda tidak memberi uang, terlebih bila
mereka tahu jumlah uang yang diberikan pada temannya cukup besar. Mereka juga
bahkan tidak segan-segan menyerang temannya yang telah diberi uang dan berusaha
merebutnya. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang seolah-olah biasa saja.
2) Anonimitas
Kota besar seperti Jakarta, Bandung,
Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam
informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung
berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap
rangsangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indra dan
kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang
dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik.
Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak
mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia cenderung
berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma
masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain.
3) Suhu udara yang panas
Bila diperhatikan dengan seksama
tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik
panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut.
Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan
petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila
hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi. Hal ini sesuai dengan
pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap
tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot
Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan
agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan
musim-musim lainnya (Fisher et al, dalam Sarlito, Psikologi Lingkungan,1992
E. Peran Belajar Model
Kekerasan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada
saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan
melalui Televisi dan juga “games” atau pun mainan yang bertema kekerasan.
Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui
dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron,
sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara
khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down,
UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa
acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka
saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap
perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan
Davidoff (1991) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan
meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk
meniru model kekerasan tersebut.
F. Frustrasi
Frustrasi terjadi bila seseorang
terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan,
pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon
terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi
yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan
adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai.
Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
Frustrasi yang berujung pada
perilaku agresi sangat banyak contohnya, beberapa waktu yang lalu di sebuah
sekolah di Jerman terjadi penembakan guru-guru oleh seorang siswa yang baru di
skorsing akibat membuat surat ijin palsu. Hal ini menunjukan anak tersebut
merasa frustrasi dan penyaluran agresi dilakukan dengan cara menembaki
guru-gurunya.
Begitu pula tawuran pelajar yang
terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang
cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh banyaknya
anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara
nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek
yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh
karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya)
oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk
kebutuhan dirinya.
G. Proses Pendisiplinan yang
Keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter
dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik,
dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, Keluarga
dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan disiplin seperti itu akan
membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang
lain, dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas
serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi
kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan
dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya.
Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat
pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi
hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi
kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk keluar main, tetapi di dalam rumah
tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka).
PERSPEKTIF TEORITIS YANG KELIRU
Strickland (2001) mengemukakan bahwa
perilaku agresi adalah setiap tindakan yang diniatkan untuk melukai,
menyebabkan penderitaan, dan merusak orang lain.
Myers (2002) menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk melukai obyek yang menjadi sasaran agresi. Secara umum, agresi adalah tanggapan yang mampu memberikan stimulus merugikan atau merusak terhadap organisme lain.
Myers (2002) menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk melukai obyek yang menjadi sasaran agresi. Secara umum, agresi adalah tanggapan yang mampu memberikan stimulus merugikan atau merusak terhadap organisme lain.
1. Teori Insting
Teori paling klasik tentang perilaku
agresi ini mengemukakan bahwa manusia memilki insting bawaan secara genetis
untuk berperilaku agresi (Baron&Byrne, 1997). Robber Baron menyatakan
bahwa agresi merupakan tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut.
Dengan demikian ada 4 unsur dalam
agresi :
- Mempunyai tujuan untuk mencelakakan
- Ada individu yang menjadi pelaku
- Ada individu yang menjadi korban
- Ketidakinginan korban untuk menerima tingkah laku korban
Tokoh Psikoanalis, Sigmund Freud
mengemukakan bahwa perilaku agresi merupakan gambaran ekspresi yang sangat kuat
dari insting untuk mati (thanatos). Dengan melakukan agresi, maka secara
mekanis individu telah berhasil mengeluarkan energi destruktifnya dalam rangka
menstabilkan keseimbangan mental antara insting mencintai (eros) dan insting
kemaitian (thanatos) yang ada dalam dirinya. Energi destruktif individu dapat
dikeluarkan dalam bentuk perilaku yang tidak merusak, namun yang hanya bersifat
sementara. Kemudian aliran Neufreudian merevisi teori-teori tersebut. Dikemukakan
oleh Wrighsman&Deaux (1981) menyatakan bahwa agresi adalah bagian dari ego
yang berorientasi pada kenyataan sehingga dorongan agresi adalah suatu yang
sehat karena bertujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang nyata dari
menusia. Sementara menurut Mc. Dougall, di dalam diri manusia terdapat insting
untuk menyerang dan berkelahi. Hal ini bias disebabkan oleh rasa marah karena
terancam atau kebutuhan yang tidak terpenuhi. Konlard Lorens menyatakan bahwa
agresi sebagai pemenuhan insting yang bersifat alamiah yang lebih mengarah pada
perilaku penyesuaian diri (adaptif) dan bukan karena stimulus atau provokasi
dari luar.
2. Teori Frustasi Agresi
Dikemukakan oleh John Dollard dan
Neal Miller (1930-an). Teori ini berpendapat bahwa agresi merupakan hasil dari
dorongan untuk mengakhiri keadaan frustrasi seseorang sebagai reaksi terhadap
peristiwa yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini frustrasi adalah
kendala-kendala eksternal yang menghalangi perilaku seseorang. Dapat atau
tidaknya frustrasi menimbulkan reaksi agresi bergantung pada pengaruh variabel
perantara. Misalnya ketakutan terhadap hukuman karena melakukan tindakan agresi
secara nyata, atau tanda-tanda yang berhubungan dengan perilaku agresi sebagai
faktor-faktor yang memfasilitasi perilaku agresi.
3. Teori Belajar Sosial
Teori ini menjelaskan bahwa perilaku
agresi sebagai perilaku yang dipelajari. Albert Bandura menyatakan bahwa
perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial (Strickland,2001).
Belajar sosial adalah belajar melalui mekanisme belajar pengamatan dalam dunia
sosial.
Dalam memahami perilaku agresi,
aliran ini mengemukakan tiga informasi yang perlu diketahui :
- Cara perilaku agresi diperoleh
- Ganjaran dan hukuman yang berhubungan dengan suatu perilaku agresi
- Faktor-faktor sosial dan lingkungan yang memudahkan timbulnya perilaku agresi.
Dari ketiga informasi tersebut,
teori belajar sosial ingin menjelaskan bahwa akar perilaku agresi tidak
sederhana berasal dari satu atau beberapa faktor tapi hasil dari interaksi
banyak faktor, seperti pengalaman masa lalu individu berkenaan dengan perilaku
agresi, jenis-jenis perilaku agresi yang mendapat dan hukuman, serta variabel
lingkungan dan kognitif sosial yang dapat menjadi penghambat atau fasilitator
bagi timbulnya perilaku agresi.
4. Teori Penilaian Kognitif
(Cognitive Appraisal)
Toeri ini menjelaskan bahwa reaksi
individu terhadap stimulus agresi sangat bergantung pada cara stimulus itu
diinterpretasikan oleh individu. Zillman, sebagai pelopor model transfer
eksitasi menyatakan bahwa agresi dapat dipicu oleh rangsangan fisiologis
(physicological arousal) yang berasal dari sumber-sember yang netral atau
sumber-sumber yang sama sekali tidak berhubungan dengan atribusi rangsangan
agresi itu (Krahe,1997).
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN AGRESI
A. Hukuman
Hukuman (punishment) yaitu
pemberian konsekuensi yang menyakitkan untuk mengurangi perilaku tertentu.
Dalam hal ini yaitu sebagai suatu teknik untuk mengurangi agresi.
Pertama-tama, kita harus perhatikan
bahwa, dilihat secara keseluruhan, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa
hukuman dapat berhasil dalam mencegah individu untuk terlibat di banyak bentuk
perilaku. Namun, dampak seperti ini tidak pasti dan tidak otomatis. Bila
hukuman yang diberikan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar, maka hukuman
dapat menjadi tidak efektif untuk tujuan ini. Kondisi-kondisi apa yang harus
dipenuhi sehingga hukuman dapat berhasil ? Empat hal yang penting adalah: (1)
Harus segera-harus mengikuti tindakan agresif secepat mungkin. (2) Harus
pasti-probabilitas bahwa hukuman akan menyertai agresi haruslah sangat tinggi.
(3) Harus kuat- cukup kuat untuk dirasa sangat tidak menyenangkan bagi
penerimanya. Dan (4) harus dipersepsikan oleh penerimanya sebagai justifikasi
atau layak diterima.
B. Katarsis
Hipotesis katarsis (chatarsis
hypothesis) adalah pandangan bahwa jika individu mengekspresikan kemarahan
dan hostility mereka dalam cara yang relatif tidak berbahaya, tendensi
mereka untuk terlibat dalam tipe agresi yang lebih berbahaya akan berkurang
(Dollard dkk., 1939). dalam berbagai aktivitas yang tidak berbahaya untuk orang
lain (misalnya, aktivitas olahraga keras, berteriak-teriak dalam ruangan
kosong) dapat mengurangi keterangsangan emosional yang berasal dari frustasi
atau provokasi (Zilmann, 1979). Sayangnya ternyata, efek seperti ini hanya
sementara. Keterangsangan emosi yang berasal dari provokasi dapat segera muncul
kembali ketika individu mengingat kejadian yang membuat mereka marah (Caprara
dkk, 1994). Dengan kata lain, faktor-faktor kognitif seringkali membuat dampak
katarsis, jika ada hanya berumur pendek. Agresi terbuka tampaknya tidak
berkurang dengan (1) melihat adegan kekerasan di media (Geen, 1998), (2)
menyerang objek mati (Bushman, Baumeister, & Stack, 1999; Mallick &
McCandless, 1966), atau (3) melakukan agresi verbal terhadap orang lain, bahkan
beberapa temuan menyatakan bahwa agresi dapat ditingkatkan oleh aktivitas ini.
C. Intervensi kognitif : Permintaan
Maaf dan Mengatasi Defisit Kognitif
pengakuan kesalahan-kesalahan yang
meliputi permintaan ampun/maaf sesungguhnya seringkali sangat bermanfaat untuk
mengurangi agresi (Kameda, Ohbuchi & Agarie, 1989). Sama halnya,
alasan-alasan yang baik (good excuses) yang merujuk pada faktor-faktor
di luar kontrol pemberi alasan - juga dapat efektif mengurangi marah dan
agresi terbuka dari orang-orang yang telah diprovokasi dalam kadar tertentu
(Baron, 1989b; Weiner dkk., 1987). Jadi jika Anda merasa bahwa Anda membuat
orang lain marah, segeralah minta maaf. Masalah yang dapat Anda hindari membuat
ucapan “saya menyesal” menjadi berharga.
D. Pemaparan terhadap model
nonagresif: Pertahanan yang menular
Jika pemaparan terhadap tindakan
agresif yang dilakukan orang lain di media atau secara langsung dapat
meningkatkan agresi, tampaklah memungkinkan bahwa pemaparan terhadap perilaku nonagresif
menghasilkan dampak yang sebaliknya. Bahkan, hasil dari beberapa penelitian,
menunujukkan bahwa hal ini memang benar (misalnya, Baron, 1972b; Donnerstein
& Donnerstein, 1976).
E. Pelatihan dalam keterampilan
sosial: Belajar untuk memiliki hubungan baik dengan orang lain
Salah satu alasan mengapa banyak
orang yang terlibat dalam tanggapan agresif adalah karena mereka tidak memiliki
keterampilan sosial dasar. Mereka tidak mengetahui bagaimana merespons
provokasi dari orang lain dalam cara yang akan menenangkan orang lain ini
alih-alih mengganggu mereka. Mereka tidak tahu bagaimana caranya untuk membuat
permintaan atau bagaimana caranya untuk menolak permintaan orang lain tanpa
membuat orang lain tersebut marah. Oarang-orang yang tidak memiliki
keterampilan sosial dasar tampak terlibat dalam kekerasan dengan proporsi yang
cukup tinggi di banyak masyarakat (Toch, 1985), jadi membekali orang-orang ini
dengan keterampilan sosial yang lebih baik dapat sangat bermanfaat untuk
mengurangi agresi.
F. Respons yang tidak tepat. Sulit
Untuk Tetap Marah Jika Anda Tersenyum
Bayangkan Anda berada dalam situasi
dimana Anda merasa diri Anda marah dan kemudian seseorang menceritakan sebuah
lelucon yang membuat Anda tertawa. Apakah Anda akan tetap marah ? Mungkin
tidak. Kemungkinannya besar bahwa ketika Anda tertawa, Anda akan merasa
kemarahan Anda berkurang. Mengapa ? Karena tertawa dan afek positif yang
dibawanya tidak sesuai dengan perasaan marah dan tindakan agresi. Hal ini
merupakan dasar dari pendekatan lain untuk mengurangi agresi, yang dikenal
sebagai teknik respons yang tidak tepat (incompatible response
techniques) (misalnya. Baron, 1993b). Teknik menyatakan bahwa agresi akan
berkurang jika individu dipaparkan pada kejadian atau stimulus yang menyebabkan
mereka mengalami keadaan afeksi yang tidak tepat dengan kemarahan atau agresi.
CONTOH PERILAKU AGRESI
Kondisi ruangan kelas yang memiliki
kapasitas kecil biasanya hanya terdiri dari satu kelas dengan jumlah mahasiswa
rata-rata 40 orang. Hal ini terjadi supaya kegiatan belajar dan mengajar di
dalam ruangan tersebut menjadi lebih efektif. Namun kadang-kadang dalam situasi
tertentu ruang kelas yang biasa digunakan untuk satu kelas bertambah jumlahnya
menjadi dua kelas sehingga kondisi tersebut mempengaruhi perilaku baik dosen
maupun mahasiswa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stokol dalam teori kendala
Perilaku ( Behavioral Constrain Theory ) yaitu kenyataan atau perasaan
serta kesan yang terbatas dari manusia oleh lingkungannya, seperti misalnya
ruangan dengan kapasitas kecil dengan jumlah mahasiswa yang banyak merasa
terganggu dengan adanya suara-suara yang berasal dari internal maupun eksternal
kelas, sehingga membuat mahasiswa dan dosen sulit untuk berkonsentrasi pada
kegiatan tersebut Jumlah mahasiswa yang tidak sesuai dengan kapasitas ruangan
tersebut juga dapat menimbulkan kepadatan.
Kepadatan yang terjadi dalam ruang
kelas tersebut memiliki dampak yang cukup berpengaruh. Jika kepadatan menurun,
kondisi fisik maupun perilaku pada manusia dapat dikatakan normal. Sedangkan
jika kepadatan meningkat, menimbulkan penurunan kondisi fisik, misalnya lelah,
serta terjadinya penyimpangan perilaku, misalnya mahasiswa yang menganggu
mahasiswa lainnya yang sedang memperhatikan dosen.
Akibat dari kepadatan yang terjadi
didalam ruang tersebut yaitu dari segi sosial, timbulnya kenakalan pada
mahasiswa. Sedangkan dari segi psikologis mahasiswa maupun dosen menjadi
stress, berubahnya suasana hati, menurunnya kepedulian pada orang
sekitar,menurunnya kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas, serta
meningkatnya emosi yang dapat mengakibatkan tindak agresi.
Seperti yang telah dikemukakan oleh
Heimstra dan Mc. Farling, yaitu :
- Akibat fisik, peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan lain-lain.
- Akibat sosial, meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja.
- Akibat psikis,
- timbulnya stress & perubahan suasana hati,
- menurunnya perilaku menolong,
- kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosial,
- menurunkan kemampuan individu dalam mengerjakan tugas-tugasnya,
- menumbuhkan frustasi, kemarahan dan dapat menyebabkan tindak agresi.
Kesesakan yang terjadi dalam ruang
kelas tersebut menimbulkan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang dan
lebih bersifat psikis. Rasa sesak datang karena jumlah mahasiswa yang terlalu banyak.
Sesuai dengan salah satu jenis kesesakan yang dikemukakan oleh Stokols yaitu
Kesesakan Sosial ( Social Crowding ), perasaan sesak yang mula-mula dating dari
kehadiran orang lain yang terlalu banyak.
Mahasiswa maupun dosen dalam ruang
tersebut banyak menerima stimulus yang mempengaruhi proses kognitifnya.
Misalnya pada saat temperatur meningkat atau panas, mahasiswa maupun dosen
berusaha membuat temperatur dalam ruangan menurun atau lebih sejuk namun ia
tidak dapat melakukannya. Hal ini sesuai dengan teori Beban stimulus yaitu
kesesakan terjadi bila stimulus yang diterima individu terlalu banyak (
melebihi kapasitas kognitif ) sehingga timbul kegagalan dalam memproses
stimulus atau info dari lingkungannya. Seperti yang dikemukakan oleh Cohen
yaitu manusia memiliki kapasitas yang terbatas dalam memproses informasi.
Ketika individu melebihi kapasitas, orang cenderung mengabaikan beberapa
masukan dan mencurahkan pada hal-hal yang lain
keren kak infonya makasih
BalasHapusinternet axis