Senin, 12 Mei 2014

Makala AWAJA ke NU an



RESOLUSI JIHAD NU 1945  SERTA PERAN POLITIK DAN MILITER NU DALAM MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN NKRI


BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa dilepaskan dari peran para pejuang Muslim, atau lebih tepatnya kaum santri. Kaum santri adalah masyarakat Jawa yang secara sosial budaya memegang kuat tradisi lokal namun juga sangat taat terhadap ajaran-ajaran agama, seperti ibadah shalat lima waktu, puasa Ramadhan atau membayar zakat.
Kaum santri yang sering dituduh oleh kaum pembaharu sebagai ahli takhayul, bid’ah dan khurafat memang memiliki latar belakang sosial tradisonalis-agraris, yang hidup di pedesaan dengan mayoritas mata pencahariannya sebagai petani. Wajar jika stereotype yang dituduhkan kelompok   luar,   baik   kelompok   nasionalis   maupun   kelompok   Islam pembaharu, menyebut kaum santri tradisionalis tidak memiliki kepekaan terhadap dunia luar, baik isu politik, sosial dan budaya.

Sekali  lagi  menurut  Geertz,  yang  termasuk  dalam  kelompok  yang tradisionalis-konservatif ini seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Persatuan Tarbiyah   Islamiyah   (PERTI).   Sedangkan   yang   dikategorikan   sebagai kelompok pembaharu yang modernis adalah Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Bagi Geertz, kalangan modernis dicirikan sebagai kelompok skripturalis dengan mengedepankan rasionalitas, pertumbuhan ekonomi dan pendidikan gaya Barat.
Sementara kalangan santri yang tradisionalis dicirikan dengan kecenderungan kepada mistik, sinkretisme, kehidupan rural dan lebih berorientasi akhirat. Hanya saja menurut Dr. Fauzan Saleh, kajian etnografis yang dilakukan Geertz di Jawa Timur tahun 1950-an tersebut tidak bisa dipertahankan untuk mendeskripsikan kondisi saat ini.
Kondisi  riil  yang  dihadapi  kelompok  santri-tradisonalis  tidak  lain adalah keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan kejumudan. Sementara kaum   muslim   modernis   hidup   berkecukupan   secara   ekonomi,   sebagai pedagang dan para pegawai pemerintah. Tetapi bukan berarti kelompok santri tradisionalis  itu  tidak  peka  terhadap  persoalan  kebangsaan.  Justru  kaum muslim tradisionalis yang dikomando para kyai, baik dalam urusan agama maupun politik, dalam sejarah telah menunjukkan bukti bahwa mereka kaum tradisionalis sangat loyal kepada tanah air.
Bahkan pesantren yang dipandang hanya menjadi tempat pendidikan agama yang konservatif, pada akhirnya juga membuka diri dan terlibat dalam dinamika pendidikan modern. Dalam konteks ini, tokoh yang berperan dalam pembaruan kurikulum pesantren dalah KH. Mohammad Ilyas dan KH. Abdul Wahid Hasyim, putra KH. Hasyim Asy’ari. Atas persetujuan KH. Hasyim Asy’ari,  kedua  tokoh  muda  tersebut  memasukkan  mata  pelajaran  umum seperti membaca dan menulis huruf latin, ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu. Semenjak itu pula surat kabar berbahasa Melayu diizinkan masuk ke pesantren.  Walaupun  KH.  Hasyim  Asy’ari  dianggap  cukup  konservatif, namun  pembaharuan  dalam  pesantren  di  Tebuireng  sempat  menimbulkan reaksi  yang  cukup  hebat,  hingga  sejumlah  orang  tua  memindahkan  anak-anaknya ke pesantren lain. Tebuireng sudah dianggap terlalu modern. Wajar jika pada saat itu terjadi pro-kontra saat pesantren memulai pembaruan.
Namun   buahnya   bisa   dilihat   saat   ini,   perpustakaan   pesantren Tebuireng menjadi laboratorium keilmuan yang representatif dan terbuka dengan dialektika perkembangan zaman. Dari pembaruan kurikulum inilah kemudian pesantren mampu mencetak kyai-kyai yang memiliki keilmuan agama yang tinggi, ber-akhlak karimah, berkarakter, kharismatik, namun sekaligus memiliki wawasan kebangsaan dan wacana modernitas. Itulah karakter yang melekat dalam pribadi seorang kyai yang merupakan produk pendidikan pesantren.
Aboebakar Atjeh menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang  menjadi  kyai  besar  dan  berpengaruh,  yaitu :  pengetahuannya, kesalehannya, keturunanya dan jumlah muridnya. Modal kultural dan modal spiritual yang dimiliki para kyai, pada akhirnya mampu menggerakkan para santri dan pengikutnya untuk membela tanah air.
Hanya   saja   dalam   sejarah,   peran   kaum   bersarung,  sengaja disingkirkan dari lembaran catatan yang bersejarah. Pesantren dengan para kyainya, jauh sebelum terorganisir dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), sudah  terbukti  berperan  dalam setiap  gerakan  sosial  mewujudkan  cita-cita keadilan dan kemerdekaan orang-orang pribumi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh sejarawan, Sartono Kartodirdjo, bahwa peristiwa pertentangan sosial politik terhadap penguasa kolonial, menurut laporan pemerintah Belanda sendiri, dipelopori oleh para kyai sebagai pemuka agama, para haji dan guru-guru ngaji. Bahkan tidak jarang pula para kyai menjalin kerjasama dengan kalangan bangsawan Jawa.
Ada adagium yang populer, sejarah selalu diciptakan oleh penguasa. Artinya  siapa  yang  menang,  siapa  yang  berkuasa,  dialah  yang  berhak membuat cerita dan menulis sejarah untuk anak cucu. Wajar jika peran orang kaum tradisionalis-pesantren sulit dilacak. Sejarah yang merupakan produk para penguasa tidak pernah berkata jujur tentang peran para laskar santri yang terhimpun dalam Hizbullah, maupun laskar para kyai yang tergabung dalam Sabilillah dalam berperang melawan penjajah. Sejarah milik penguasa juga tidak memberikan kabar kepada anak cucu bangsanya, tentang keterlibatan dan loyalitas KH. Abdul Wahid Hasyim dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/ Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI). Sejarah yang diajarkan kepada anak-anak sekolah juga tidak mengenalkan peran “Resolusi Jihad” yang dikomandoi KH. Hasyim Asy’ari, yang mengeluarkan fatwa wajib hukumnya untuk mempertahankan kemerdekaan bagi setiap orang muslim.
Jauh sebelum NU terbentuk tahun 1926, sebagai organisasi para kyai dan pesantren, pernah lahir organisasi pemuda muslim yang bernama Syubhanul Wathon (Pemuda Tanah Air). Organisasi ini berdiri atas prakarsa KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1924. Para anggotanya pada mulanya adalah para guru madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Nahdlatul Wathan menurut Martin van Bruinessen adalah sebuah lembaga pendidikan yang berupa sekolah, bukan madrasah atau pesantren. Bruinessen menegaskan bahwa Nahdlatul Wathan, sekali lagi bukan pesantren atau madrasah,  tetapi  lembaga  pendidikan  sekolah  yang  bercorak  nasionalis moderat. Tetapi H. Umar Burhan sebagaimana dikutip oleh Andree Feillard menyebut Nahdlatul Wathan sebagai madrasah. Andree mengutip H. Umar Burhan yang menulis, “Pada tahun 1916 Kyai Wahab Chasbullah mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), dengan gedungnya yang besar dan bertingkat di Surabaya.
Secara khusus Syubhanul Wathan adalah perkumpulan para pemuda pesantren, dengan nama yang berbeda dengan perkumpulan pemuda yang lain. Pada saat itu para pemuda dari daerah lain membentuk Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Celebes, Pemuda Betawi, dan sejenisnya yang bersifat kedaerahan. Tetapi pemuda-pemuda pesantren yang berkumpul di Surabaya ini mendirikan perkumpulan muda yang berbeda dengan yang lain. Mereka menyebut diri Syubbanul Wathon, Pemuda Tanah Air. Kelak setelah NU berdiri organisasi para pemuda pesantren ini berganti nama menjadi Ansor Nahdlatoel   Oelama   (ANO)   dan   menyatu   dalam   pasukan   non   regular Hizbullah di bawah komando para kiai berada di garda depan perjuangan merebut kembali kemerdekaan Republik Indonesia.
Fakta   sejarah   tersebut   membuktikan   bahwa   kaum   tradisonalis pesantren atau yang tergabung dalam jam’iyyah NU memiliki kesadaran nasionalisme kebangsaan lebih awal daripada kelompok organisasi lain, baik yang kedaerahan ataupun keagamaan. Sehingga ruh kebangsaan untuk membela tanah air itu tertanam kuat dalam sanubari para santri.
Namun kaum nasionalis dan muslim modernis Indonesia seringkali membuat gambaran sepihak mengenai NU sebagai kaum konservatif dan reaksioner.   Sejarawan   nasionalis,   A. K.   Pringgodigdo,   dalam   surveinya mengenai gerakan nasionalis Indonesia (1950), hanya menyebut NU untuk mengkritik rendahnya kadar nasionalisme. Para apolog NU, di pihak lain berkali-kali mengklaim bahwa patriotisme sejak semula merupakan kekuatan pendorong berdirinya organisasi Nahdlatul Wathan. Mereka tidak dapat mendukung klaim ini dengan banyak bukti kontemporer, tetapi nama sekolah Nahdlatul Wathan adalah indikasi bahwa Kyai Wahab paling tidak juga didorong oleh kesadaran nasional tertentu. Sebuah indikasi yang lebih jelas lagi adalah nyanyian patriotik yang ditulis oleh Kyai Wahab dalam bahasa Arab, yang biasa dinyanyikan oleh para murid di sekolah Nahdlatul Wathan. Teks nyanyian dan terjemahan dalam bahasa Indonesianya yang agak dibumbui, dapat ditemukan dalam Anam 1985: 25-26. Menurut beberapa sumber yang simpatik, Kyai Wahab juga ambil bagian dalam Indonesische Studie  Club-nya  Dr  Sutomo,  sebuah  kelompok  studi  kaum  intelektual nasionalis yang dibentuk pada tahun 1924.
Dalam awal kehadiran seperti itu, NU sebenarnya bisa dilihat sebagai gerakan yang mengarahkan perjuangannya kepada dua sasaran sekaligus. Pertama, sebagaimana tampak dalam uraian dimuka, NU mengarahkan perjuangannya pada upaya memperkuat dan mengembangkan amal ibadah dan akidah yang mendapat serangan-serangan kaum “pembaharu”. Sementara di dalam dirinya, NU secara aktif mengembangkan persepsi keagamaannya yang baru  terutama  dalam  kaitan  dengan  amal-amal  sosial,  pendidikan  dan ekonomi. Perubahan-perubahan di lingkungan NU, bukan tidak terjadi. Tetapi, khas NU, perubahan yang dilakukan selalu dilaksanakan dengan kearifan pada sistem budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kedua, perjuangan NU juga diarahkan kepada kolonialisme Belanda. Pola yang dipakai dalam perjuangan menghadapi Belanda tampak jelas, banyak bersifat kultural. Dalam kaitan ini, NU misalnya mengeluarkan kata putusnya yang mengharamkan pantalon dan dasi. Atau disegi yang lain menolak sistem pendidikan model Belanda  dan  sebagainya.  Bagi  mereka  yang  ingin  kembali  pada  teks  Al- Qur’an dan Al-Hadits, sulit menemukan landasan hukum haram atas pantaloon dan dasi. Tetapi bagi mereka yang memahami metode pengambilan hukum (istinbath) di kalangan ulama NU, maka sikap itu bisa dipahami. Ketika NU memakai hadits; man tasyabbahâ bi qaumin fahuwa minhum (siapa yang menyerupai suatu golongan, tentu dia merupakan bagian mereka), orang harus memahami siapa Belanda dalam pandangan kaum muslimin.
Perlawanan  kultural  terhadap  pemerintah  kolonial  Belanda,  seperti akan diuraikan kemudian, berhasil membentuk kiai dan santri-santrinya menjadi lapisan masyarakat bangsa Indonesia yang sangat anti penjajah. Pada gilirannya, sikap anti penjajah ini memberikan sumbangan yang sangat besar pada perjuangan menuju Indonesia.
Demikian, perjuangan NU yang mengambil bentuk kultural dalam menghadapi penjajah Belanda, pada akhirnya menjadi watak dasar yang membedakan NU dengan gerakan-gerakan anti penjajah yang lain. Apalagi dibandingkan dengan SI yang sangat diwarnai oleh watak politiknya. Namun demikian, ketika perjuangan politik melawan Belanda makin banyak melibatkan golongan-golongan di Indonesia.  Kontak-kontak secara langsung antara  tokoh-tokoh  NU  dengan  berbagai  kalangan,  tidak  bisa  dihindari. Apalagi  kemudian  NU  harus  menghadapi  kenyataan  bahwa  kekuasaan Belanda secara terus-menerus dipakai untuk mengganggu hal-hal yang dipandang   sebagai   prinsip   dari   kehidupan   bangsa   dan   agama.   Dalam hubungan ini kita melihat NU yang menentang Ordonansi Guru, Ordonansi Pencatatan Perkawianan 1937 (sejenis UU perkawinan) menolak milisi untuk menghadapi Jepang, ikut menuntut Indonesia berparlemen, penolakan kepada usaha  penacabutan  artikel  177  Indische  Staatregeling  yang  mengandung semangat diskriminasi golongan dan agama, dan lain-lain.
Sikap-sikap itu mendatangkan kesadaran baru, bahwa kekuasaan Belanda secara terus-menerus dihadapkan kepada Islam. Untuk mengakhiri kekuasaan yang seperti ini, bagaimanapun pemerintahan Belanda harus diakhiri. Dan untuk itu bangsa Indonesia harus merdeka. Mulai saat itu secara luas, intensitas keterlibatan NU kepada perjuangan politik makin kelihatan. Kebijaksanaan Belanda yang merusak syari’at Islam membawa hikmah tersendiri, ketika NU bersama Muhammadiyah bersama-bersama membentuk Majlisul Islam A’la Indonesia (Majlis Tertinggi Islam Indonesia), yang disingkat MIAI, yang berdiri pada tanggal 21 September 1937. NU secara resmi masuk sebagai organisasi anggota MIAI dalam Konges Al-Islam yang diselenggarakan pada tanggal 26 Februari sampai 1 Maret 1938, walaupun tokoh utamanya ikut mensponsori pendiriannya.
Beberapa hal yang mendorong pertemuan beberapa tokoh Islam itu antara lain karena adanya kecaman terhadap Islam oleh seorang penulis dalam sebuah surat kabar yang dirasakan menghina Islam, soal Palestina yang menghangat, serta soal pengadilan agama dan perkara waris. Pertemuan yang disponsori Abdul Wahab Hasbullah, Mas Mansur, Ahmad Dahlan (Kebondalem, Surabaya) dan Wondoamiseno, akhirnya memutuskan untuk mendirikan suatu badan federasi permusyawaratan MIAI.
Harry J. Benda menunjukkan bukti bahwa perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan  luar,  akhirnya  menyempitkan  jurang  perbedaan  antara kaum reformis dan ortodoks. Pada   tahun   1943,   MIAI   mengundang   kongres   Al-Islam,   yang merupakan kongres pertama yang penyelenggaraannya dilakukan oleh organisasi keagamaan terbesar, di saat PSII mulai merosot pengaruh keagamaannya,  seperti  tercermin  oleh  perpecahan  di  antara  para pemimpinnya.
Arena perjuangan politik NU makin melebar ketika Jepang menguasai Indonesia.  NU  termasuk  organisasi  yang  dilarang  oleh  Jepang,  tetapi  NU sudah tidak mungkin dibendung. Sarana komunikasi yang sangat beragam yang  dipunyai  NU  berupa  pranata  dan  institusi  sosial,  tidak  mungkin menghentikan organisasi NU secara material. Ketika Jepang mewajibkan agar bangsa Indonesia mengikuti pendewaan terhadap Kaisar Jepang Tenno Haika dengan cara membungkukkan badan kearah Timur pada waktu-waktu tertentu, NU langsung menyatakan penolakannya. Seperti juga semua orang Islam, pendewaan kepada selain Allah, dipandang sebagai perbuatan syirik oleh NU. KH. Hasyim Asy’ari secara terbuka menyatakan penolakan itu. Dan Jepang mencoba menghambat penolakan ini dengan menjebloskan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari ke dalam tahanan. Orang-orang Islam dengan peristiwa ini mulai mengetahui, bahwa Jepang tidak memenuhi janjinya yang menyatakan akan menghormati agama Islam. Saikeirei yang mereka wajibkan kepada bangsa Indonesia secara luas merupakan api yang membakar perlawanan umat Islam. KH. Zaenal Musthofa dari Singaparna, seorang anggota NU kemudian mengangkat senjata, suatu perlawanan bersenjata yang pertama kali kepada Jepang.
Perlawanan itu berhasil dipadamkan, tetapi bukan berarti tidak membawa hasil. Kebijaksanaan Jepang kepada Islam mulai berubah. Bulan itu juga dua organisasi Islam, NU dengan Muhammadiyah dicairkan pembekuannya. Ketika MIAI mencapi akhir pengabdiannya dengan dibentuknya federasi baru Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Dewan Permusyawaratan   Muslimin   Indonesia),   yang   disingkat   Masyumi,   KH. Hasyim Asy’ari diangkat menjadi pimpinan tertinggi. Tetapi dengan ini tidak serta merta merubah perlawanan NU terhadap Jepang. Sesudah pada tanggal 7 Nopember   1945   Masyumi   dinyatakan   menjadi   Partai   Politik   dan   NU menduduki Ketua Umum Majlis Syuro, yakni KH. Hasyim Asy’ari, serta menjadi salah seorang ketuanya yaitu KH. Wahid Hasyim, maka masuknya NU ke dalam gelanggang politik makin dalam. Dibentuknya organisasi latihan kemiliteran Hizbullah (dengan panglimanya KH. Zainul Arifin, NU) dan masuknya KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Masykur ke dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), kemudian berubah menjadi Panitia  Persiapan  Kemerdekaan  Indonesia  (PPKI)  memperluas  jaringan keterlibatan tokoh-tokoh NU ke dalam perkembang politik Indonesia.
Sikap anti penjajah NU menyebabkan antisipasinya terhadap perkembangan keadaan yang menyangkut Republik Indonesia demikian cepat. Melihat ancaman terhadap negara yang sudah menyatakan proklamasi kemerdekaannya, sudah mempunyai kontitusinya sendiri (UUD 1945, di mana NU merasa mempunyai andil dalam proses-proses perumusannya) mendorong organisasi ini pada tanggal 22 Oktober 1945 mengeluarkan sebuah Resulusi Jihad. Sebelumnya NU mengirim surat resmi kepada pemerintah diantaranya berbunyi: “Memohon dengan sangat kepada pemerintah Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhdap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap Belanda dan kaki tangannya. Supaya pemerintah melanjutkan  perjuangan  yang  bersifat  “sabilillah”  untuk  tegaknya  Negara Republik Indonesia yang merdeka dan beragama Islam.”  Pernyataan yang diputuskan dalam suatu rapat para konsul NU se-Jawa itu berbunyi:
1.      Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
2.      Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.
3.      Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tugas-tugas tentara sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
4.      Umat Islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
5.      Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (fardlu ‘ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan sembahyang jama’ dan qasar). Adapun mereka yang berada diluar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara- saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.
Resolusi Jihad tersebut akhirnya mampu membangkitkan semangat arek-arek Surabaya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah. Dengan semangat takbir Allâhu Akbar yang dikumandangkan oleh Bung Tomo, maka terjadilah perang rakyat yang heroik pada 10 November 1945 di Surabaya, yang kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan.


BAB II
PEMBAHASAN

Pergulatan   sejarah   NU   yang   multidimensional   memberi   warna tersendiri dalam sejarah republik ini. Sehingga dibutuhkan kajian yang utuh dan mendalam untuk menyelami setiap momen-momen yang melibatkan NU dalam konteks kebangsaan. Berdasarkan beberapa riset yang ada, tema mengenai Resolusi Jihad NU 1945, belum banyak peneliti yang secara utuh mengupas peran Resolusi Jihad. Ada beberapa buku karya peneliti Barat tentang NU tetapi tidak banyak menyinggung momentum Resolusi Jihad secara mendalam. Mereka adalah Martin van Bruinessen, Andree Feillard, Karel A. Steenbrink, Greg Fealy, Greg Barton dan masih ada beberapa peneliti Barat yang mengangkat tema ke- NU-an, namun sangat terbatas data-data tentang Resolusi Jihad. Demikian juga  ada  beberapa  artikel  dari  A.  Khoirul  Anam  dan  Hairus  Salim  HS, tentang  Resolusi  Jihad  NU  1945,  namun  belum menjadi karya utuh yang secara spesifik berisi peran Resolusi Jihad NU 1945.
Sejak sebelum lahirnya, Indonesia merupakan negara plural yang didiami penduduk yang beraneka ragam suku, adat-istiadat, bahasa daerah, dan  menganut  berbagai  agama,  yang  tinggal  di  lebih  17  ribu  pulau, memanjang dari barat hingga timur hampir seperdelapan lingkar bumi. Jamiyah Nahdlatul Ulama merupakan salah satu komunitas yang hidup di situ, dan sejak mula menyadari dan memahami bahwa keberadaannya merupakan bagian tidak terpisahkan dari keanekaragaman itu. Karena itu NU terus mengikuti dan ikut menentukan denyut serta arah bangsa ini berjalan. Karena itu, segala permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia juga ikut menjadi keprihatinan NU. Ibarat satu tubuh, bila salah satu bagian menderita, maka seluruhnya ikut merasakan.
Dalam kaitan ini, Nahdlatul Ulama mendasari dengan empat semangat: (1) ruh al-tadayyûn (semangat beragama yang dipahami, didalami dan diamalkan), (2) ruh al-wathâniyah  (semangat  cinta tanah air), (3) ruh al- ta’addudiyah (semangat menghormati perbedaan), dan (4) ruh al-insâniyah (semangat  kemanusiaan).  Keempat  semangat  itu  NU  selalu  melekat  dan terlibat dalam proses perkembangan Indonesia.
Ruh al-tadayyûn menunjukkan bahwa NU mendorong warganya untuk senantiasa meningkatkan pemahaman nilai-nilai agama. Dengan nilai-nilai keIndonesiaan yang terkandung dalam Islam, NU menjadi barometer kegiatan beragama yang moderat (tawâsuth). Dengan semakin banyaknya konflik kekerasan yang disinggungkan dengan agama, NU harus lebih intensif terus mengembangkan sikap tawâsuth ini ke masyarakat, tanpa pandang perbedaan agama dan keyakinan mereka. Pada individu Nahdliyin harus tertanam kesadaran (ghirah) Islamiyah (kepekaan membela eksistensi Islam) dan tetap menghormati orang lain yang memeluk agama yang berbeda.
Keterlibatan NU dalam pergerakan kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, NU telah secara aktif telah menerapkan semangat cinta tanah air atau ruh al-wathâniyah. Bahkan, ketika sebagian umat muslim mengajukan syari’at Islam sebagai ideologi negara dengan memasukkan tujuh kata dalam Pancasila yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”, NU rela menghilangkannya demi persatuan bangsa  tanpa  harus  mengorbankan  aqidah.  Ini  gambaran  jelas  betapa  NU sangat konsisten dengan perjuangan para pahlawan yang berasal dari berbagai macam latar belakang agama dan etnis yang ikut berjuang memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan. Dengan demikian, sudah menjadi keyakinan warga  Nahdliyin  bahwa  Pancasila  merupakan  wujud  upaya  umat  Islam Indonesia dalam mengamalkan agamanya.
Dengan melihat semangat cinta tanah air atau ruh al-wathâniyah tersebut, NU sejak awal menyadari bahwa keanekaragaman bangsa ini harus dipertahankan. Bagi NU, keanekaragaman bangsa Indonesia bukanlah penghalang  dan  kekurangan,  melainkan  kekayaan  dan  peluang,  sehingga warga Nahdliyin menganggap perlu agar seluruh warganya selalu menjunjung tinggi  untuk  menghormati  keanekaragaman  itu.  Di  dalam  Islam  sendiri terdapat berbagai aliran dan mazhab yang berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan perbedaan etnis dan ras serta bahasa yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
Perbedaan di mata NU bukan untuk dipertandingkan dan diadu mana yang terbaik dan mana yang terburuk. Perbedaan itu, sebaliknya, ditempatkan sebagai modal bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar. Di sini dapat dilihat, betapa konflik etnis dan aliran keagamaan dan keyakinan tidak pernah menjadikan  NU  patah  arang,  justru  dengan  konflik-konflik  itu  NU  selalu mendorong semua pihak agar menghormati perbedaan yang ada, karena memang bangsa ini bangsa yang multikultural, bangsa yang kaya akan keanekaragaman agama, etnis, ras dan bahasa. Semangat ini biasa disebut dengan ruh al-ta’addudiyah (semangat menghormati perbedaan).
Ruh  al-Insâniyah  adalah  semangat  yang  mendorong  setiap  warga negara Indonesia untuk menghormati setiap hak manusia. Meski NU merupakan organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia bahkan di dunia, namun kebesaran itu tidak menjadiakn NU melihat organisasi masyarakat dan agama yang kecil dengan sebelah mata. Kebesaran ini, bagi NU karena adanya pengakuan hak dan derajat yang sama kepada semua warga negara, yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi pandangan orang tentang penghargaan NU terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang pada akhirnya orang- orang yang sebelumnya tidak menjadi warga NU kemudian beralih menjadi warga Nahdliyin.
Keempat semangat inilah yang menjadi kunci NU kemudian menjadi sebuah organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia dan dunia. Dengan demikian, sebuah kemunduran jika NU melupakan empat semangat tersebut.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Setelah menyimak pendahuluan dan pembahasan diatas dalam menelusuri peristiwa Resolusi Jihad NU  atas  peran  politik  dan  militernya  dalam  mempertahankan  kedaulatan NKRI, maka terdapat beberapa kesimpulan. Setidaknya kesimpulan tersebut akan dijelaskan dalam dua hal secara terpisah dan saling berkaitan.
Pertama, Resolusi Jihad NU memiliki peran yang sangat vital dalam mempertahankan kedaulatan NKRI yang selama berabad-abad dijajah oleh bangsa Barat yang kafir. Resolusi tersebut adalah keputusan politik NU yang memandang seruan jihad fî sabîlillâh sesuai dengan semangat nasionalisme NU yang selalu mengutamakan kepentingan kebangsaan. NU yang mengambil keputusan  Resolusi  Jihad-nya  melalui  rapat  konsul-konsul  se-Jawa  dan Madura, sekaligus menjadi keputusan Muktamar di Purwokerto berjihad untuk kepentingan bangsanya.
Sebagaimana makna jihad yang sering dikutip oleh Gusdur yang diambil dari kitab Fathul Mu’in yang menyebutkan salah satu pengertian jihad sebagai, “daf’u dlarâr ma’şûmin muslimân kâna au ghaira muslim” (melindungi kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non Muslim). Dalam konteks Resolusi Jihad, pengertian tersebut sepenuhnya menjadi   rujukan   yang   kemudian   diamalkan   oleh   NU.   Yakni   berjihad melindungi kehormatan seluruh bangsa Idonesia, baik yang muslim maupun non muslim, asalkan satu bangsa, satu nasib, seperjuangan.
Resolusi tersebut adalah bagian dari keputusan politik NU, namun sekaligus peran militer NU dalam melahirkan tentara nasional. Laskar santri (Hizbullah) dan laskar kyai (Sabilillah), kelak banyak menduduki peran strategis dalam posisi militer nasional. Namun sayang, sejak tahun 1950-an, tentara santri semakin tersingkir dan disingkirkan, sampai kemudian habis.
Kedua, sejarah membuktikan bahwa Resolusi Jihad benar-benar menjadi  faktor  penentu  berlanjut  atau  tidaknya  kemerdekaan  Indonesia. Artinya dampak dari Rssolusi Jihad yang nyata adalah kemerdekaan Indonenesia   yang sampai sekarang dinikmati oleh seluruh lapisan bangsa Indonesia. Sementara dampak bagi internal NU adalah banyaknya santri-santri yang  kemudian  direkrut  menjadi  bagian  tentara  nasional.  Selain  itu  juga banyak kyai yang mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah.
Namun sayangnya penghargaan tersebut menjadi tidak berarti, karena penguasa negeri ini melupakan sejarah Resolusi Jihad dari catatan tinta emas sejarah. Justru peran NU terutama dalam Resolusi Jihad, termasuk banyak dukungan NU terhadap kedaulatan dan persatuan bangsa disembunyikan dari catatan sejarah. Bahkan kekuasaan selalu tidak memihak pada warga NU, yang nenek moyangnya sudah banyak berkorban untuk tanah air bersama ini.
Di medan politik NU tersingkir, dalam hal kebijakan pendidikan warga NU selalu dinomorduakan. Di lapangan kerja, warga NU banyak yang tidak terakomodir karena ijazah pesantren ditolak di dunia kerja. Bahkan ada pihak- pihak yang berambisi untuk menenggelamkan NU dari tanah air, memutus ahli waris NU dari tradisi-tradisi nenek moyangnya. Hal ini menjadi penting untuk menjadi refleksi bersama, khususnya generasi NU yang seharusnya memetik buah kebahagiaan, karena benihnya sudah ditanam nenek moyangnya.
Bangsa Indonesia semuanya harus bertanya, seandainya tidak ada Resolusi Jihad NU yang mengobarkan jihad untuk melawan Sekutu, mungkinkah  hari  ini  kita  semua  dan  anak  cucu  bisa  menghirup  udara Indonesia dengan merdeka? Tetapi mengapa catatan sejarah tidak menganggapnya sebagai pengorbanan. Saatnya sekarang, semuanya menuju ruang rekonsiliasi. Ruang untuk menempatkan orang-orang yang benar-benar berjasa dan setia kepada bangsanya sebagai pahlawan. Bangsa ini harus memiliki kearifan untuk saling menghargai, jasa apapun dan oleh siapapun. Apalagi  jasa  itu  bukan  sekedar  jasa  menyelamatkan  nyawa  satu  atau  dua orang. Tetapi menyelamatkan kedaulatan dan masa depan bangsa yang terdiri dari berbagai etnis, agama dan golongan.

Saran-saran
Resolusi Jihad NU telah mengorbankan jiwa dan raga para pejuangnya untuk kemerdekaan tanah airnya. Namun sampai hari ini, banyak generasi bangsa yang tidak mengenal tentang tragedi bersejarah itu, bahkan generasi NU sendiri tidak mengerti. Hal ini dikarenakan, para sejarawan nasional atas kepentingan penguasa tidak mencatat Resolusi Jihad NU dalam tinta emas sejarah.
Oleh karena itu untuk para sejarawan, saatnya sekarang sejarah harus berbicara jujur, untuk mengajarkan kepada generasi bangsa bahwa Resoluasi Jihad NU adalah pengorbanan yang besar dari para kyai dan santri yang setia dan mencinati tanah airnya. Karena orang-orang pesantren selalu meyakini hadis Rasulullah saw bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman. Dengan demikian semua generasi bangsa bisa duduk bersama untuk saling menghargai peran masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, As’ad Said, Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati, Jakarta: LP3ES, 2008

Amin, M. Masyhur, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, Yogyakarta: al-Amin Press, 1996

Anam,  A.  Khoirul,  “Kilas  Resolusi  Jihad  dan  Peristiwa  10  November,” http://www.nu.or.id, akses tanggal 20 Mei 2009

Haidar,  M.  Ali,  Nahdlatul  Ulama  dan  Islam  di  Indonesia:  Pendekatan  Fikih dalam Politik, Jakarta: Gramedia, 1998

HS, Hairus Salim, “50 Tahun Resolusi Jihad NU”, dimuat dalam SKH. Kompas edisi  Jum’at,  10  November  1995.  Lihat,  apakabar@access.digex.net,  akses tanggal 20 Mei 2009.

Masdar, Umaruddin, Pemikiran Politik 9 Ulama Besar NU: Tradisi NU, Jalan PKB, Jakarta: DPP PKB, 2008

Moesa,  Ali  Maschan, Nasionalisme  Kyai;  Konstruksi  Sosial  Berbasis  Agama, Yogyakarta: LKiS, 2007

Pengurus Wilayah LTN NU Jawa Timur, Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU (1926-1999),  Surabaya:  LTN  NU  Jawa  Timur  bekerjasama  dengan  Penerbit Diantama, 2005

Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Surabaya: Khalista, 2007

1 komentar: