RESOLUSI
JIHAD NU 1945 SERTA PERAN
POLITIK DAN MILITER NU DALAM MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN NKRI
BAB
I
PENDAHULUAN
Sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa dilepaskan dari peran para pejuang
Muslim, atau lebih tepatnya kaum santri.
Kaum santri adalah masyarakat Jawa yang secara sosial budaya memegang kuat tradisi
lokal namun juga
sangat taat terhadap ajaran-ajaran agama, seperti ibadah shalat lima
waktu, puasa Ramadhan atau membayar
zakat.
Kaum santri yang sering dituduh oleh kaum pembaharu sebagai
ahli takhayul, bid’ah dan
khurafat memang memiliki latar belakang sosial
tradisonalis-agraris, yang hidup di pedesaan dengan mayoritas
mata pencahariannya sebagai petani. Wajar jika stereotype yang dituduhkan
kelompok luar,
baik kelompok nasionalis maupun kelompok Islam pembaharu, menyebut kaum
santri tradisionalis tidak memiliki kepekaan
terhadap dunia luar, baik isu politik, sosial dan budaya.
Sekali lagi menurut Geertz, yang termasuk dalam kelompok yang tradisionalis-konservatif ini seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Sedangkan yang dikategorikan sebagai kelompok pembaharu yang modernis adalah Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Bagi Geertz, kalangan modernis dicirikan sebagai kelompok skripturalis dengan mengedepankan rasionalitas, pertumbuhan ekonomi dan pendidikan gaya Barat.
Sementara
kalangan santri yang tradisionalis dicirikan dengan kecenderungan kepada mistik, sinkretisme, kehidupan rural dan lebih berorientasi
akhirat. Hanya saja menurut Dr. Fauzan Saleh, kajian etnografis yang dilakukan Geertz di Jawa Timur tahun 1950-an tersebut tidak bisa
dipertahankan untuk mendeskripsikan kondisi saat ini.
Kondisi
riil
yang
dihadapi
kelompok
santri-tradisonalis tidak lain adalah keterbelakangan, kemiskinan,
kebodohan dan kejumudan. Sementara kaum muslim
modernis hidup berkecukupan secara
ekonomi, sebagai pedagang dan para pegawai
pemerintah. Tetapi bukan berarti kelompok santri tradisionalis itu
tidak peka terhadap persoalan kebangsaan. Justru kaum
muslim tradisionalis yang dikomando para kyai, baik dalam urusan agama
maupun politik, dalam sejarah telah menunjukkan bukti bahwa mereka kaum
tradisionalis sangat loyal
kepada tanah air.
Bahkan
pesantren yang dipandang hanya menjadi
tempat pendidikan agama yang konservatif, pada akhirnya juga membuka
diri dan terlibat dalam dinamika pendidikan modern. Dalam konteks ini, tokoh yang berperan dalam
pembaruan kurikulum pesantren dalah KH. Mohammad Ilyas dan KH. Abdul Wahid Hasyim, putra KH. Hasyim
Asy’ari. Atas persetujuan KH. Hasyim
Asy’ari, kedua tokoh
muda tersebut memasukkan
mata pelajaran
umum seperti membaca dan menulis huruf latin, ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu. Semenjak itu pula surat kabar
berbahasa Melayu diizinkan
masuk ke pesantren. Walaupun
KH.
Hasyim Asy’ari dianggap cukup konservatif,
namun pembaharuan dalam
pesantren di Tebuireng sempat menimbulkan reaksi yang cukup
hebat,
hingga
sejumlah
orang
tua
memindahkan
anak-anaknya ke pesantren lain. Tebuireng sudah dianggap terlalu
modern. Wajar jika pada saat itu terjadi pro-kontra saat pesantren memulai pembaruan.
Namun buahnya
bisa
dilihat
saat
ini,
perpustakaan
pesantren Tebuireng menjadi laboratorium
keilmuan yang representatif dan terbuka dengan dialektika
perkembangan zaman. Dari pembaruan kurikulum
inilah kemudian pesantren mampu mencetak
kyai-kyai yang memiliki keilmuan agama yang tinggi, ber-akhlak karimah, berkarakter, kharismatik, namun
sekaligus memiliki wawasan kebangsaan dan wacana modernitas.
Itulah karakter yang melekat dalam pribadi seorang kyai yang merupakan
produk pendidikan pesantren.
Aboebakar
Atjeh menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan
seseorang menjadi
kyai
besar
dan
berpengaruh,
yaitu
: pengetahuannya,
kesalehannya, keturunanya dan jumlah muridnya. Modal
kultural dan modal spiritual yang dimiliki para kyai, pada akhirnya mampu menggerakkan para santri dan pengikutnya
untuk membela tanah air.
Hanya saja
dalam
sejarah, peran
kaum
bersarung, sengaja disingkirkan
dari lembaran catatan yang bersejarah. Pesantren dengan para kyainya, jauh sebelum
terorganisir dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), sudah terbukti berperan
dalam setiap
gerakan sosial mewujudkan cita-cita keadilan dan kemerdekaan orang-orang pribumi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh sejarawan, Sartono Kartodirdjo, bahwa
peristiwa pertentangan sosial politik
terhadap penguasa kolonial, menurut
laporan pemerintah Belanda
sendiri, dipelopori oleh para kyai sebagai
pemuka agama, para haji dan
guru-guru ngaji. Bahkan tidak jarang
pula para kyai menjalin kerjasama dengan kalangan bangsawan Jawa.
Ada adagium yang populer, sejarah selalu diciptakan
oleh penguasa. Artinya siapa
yang menang, siapa yang
berkuasa,
dialah
yang
berhak
membuat
cerita dan menulis sejarah untuk anak
cucu. Wajar jika peran orang kaum tradisionalis-pesantren sulit dilacak. Sejarah yang merupakan produk para penguasa tidak pernah berkata jujur tentang peran para laskar santri yang
terhimpun dalam Hizbullah, maupun laskar para kyai yang tergabung dalam
Sabilillah dalam berperang melawan penjajah. Sejarah milik penguasa juga
tidak memberikan kabar kepada anak cucu bangsanya, tentang keterlibatan
dan loyalitas KH. Abdul Wahid Hasyim
dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/ Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI).
Sejarah yang diajarkan kepada anak-anak
sekolah juga tidak mengenalkan peran “Resolusi
Jihad” yang dikomandoi KH. Hasyim
Asy’ari, yang mengeluarkan fatwa wajib hukumnya
untuk mempertahankan kemerdekaan
bagi setiap orang muslim.
Jauh
sebelum NU terbentuk tahun 1926, sebagai organisasi para kyai dan pesantren,
pernah lahir organisasi pemuda muslim
yang bernama Syubhanul Wathon (Pemuda Tanah Air). Organisasi ini berdiri atas prakarsa KH. Wahab Chasbullah pada tahun
1924. Para anggotanya pada mulanya
adalah para guru madrasah Nahdlatul
Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Nahdlatul Wathan menurut Martin van Bruinessen adalah sebuah lembaga
pendidikan yang berupa sekolah, bukan madrasah atau pesantren. Bruinessen menegaskan
bahwa Nahdlatul Wathan, sekali lagi bukan pesantren atau madrasah,
tetapi
lembaga
pendidikan
sekolah
yang
bercorak
nasionalis
moderat. Tetapi
H. Umar Burhan
sebagaimana dikutip
oleh Andree Feillard menyebut
Nahdlatul Wathan sebagai madrasah.
Andree mengutip H. Umar Burhan yang menulis, “Pada tahun 1916 Kyai Wahab Chasbullah mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air),
dengan gedungnya yang besar dan bertingkat di Surabaya.
Secara
khusus Syubhanul Wathan adalah perkumpulan
para pemuda pesantren, dengan nama yang
berbeda dengan perkumpulan pemuda yang lain. Pada saat itu para pemuda
dari daerah lain membentuk Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Celebes,
Pemuda Betawi, dan sejenisnya
yang bersifat kedaerahan. Tetapi pemuda-pemuda pesantren yang berkumpul di
Surabaya ini mendirikan perkumpulan
muda yang berbeda dengan yang lain.
Mereka menyebut diri Syubbanul Wathon, Pemuda Tanah Air. Kelak setelah
NU berdiri organisasi para pemuda
pesantren ini berganti nama menjadi Ansor
Nahdlatoel Oelama (ANO) dan menyatu dalam
pasukan non
regular Hizbullah di bawah komando
para kiai berada di garda depan
perjuangan merebut kembali kemerdekaan Republik Indonesia.
Fakta sejarah
tersebut membuktikan bahwa
kaum
tradisonalis pesantren atau yang tergabung dalam jam’iyyah NU memiliki kesadaran nasionalisme kebangsaan lebih awal daripada kelompok organisasi lain, baik yang kedaerahan ataupun keagamaan. Sehingga ruh kebangsaan untuk membela
tanah air itu tertanam kuat dalam sanubari para santri.
Namun kaum nasionalis dan muslim modernis Indonesia seringkali membuat gambaran sepihak mengenai NU sebagai kaum
konservatif dan reaksioner. Sejarawan nasionalis, A. K.
Pringgodigdo, dalam
surveinya mengenai gerakan nasionalis Indonesia (1950), hanya menyebut
NU untuk mengkritik rendahnya kadar
nasionalisme. Para apolog NU, di pihak lain
berkali-kali mengklaim bahwa patriotisme sejak semula merupakan
kekuatan pendorong berdirinya organisasi Nahdlatul Wathan. Mereka tidak dapat mendukung klaim ini
dengan banyak bukti kontemporer, tetapi nama sekolah Nahdlatul Wathan adalah
indikasi bahwa Kyai Wahab paling
tidak juga didorong oleh kesadaran nasional tertentu. Sebuah indikasi
yang lebih jelas lagi adalah nyanyian patriotik yang ditulis oleh Kyai
Wahab dalam bahasa Arab, yang biasa dinyanyikan oleh para murid di sekolah Nahdlatul Wathan. Teks nyanyian dan terjemahan dalam
bahasa Indonesianya yang agak
dibumbui, dapat ditemukan dalam Anam
1985: 25-26. Menurut beberapa sumber yang simpatik, Kyai Wahab juga ambil bagian dalam Indonesische Studie Club-nya Dr Sutomo,
sebuah
kelompok
studi
kaum
intelektual
nasionalis yang
dibentuk pada tahun 1924.
Dalam awal kehadiran seperti
itu, NU sebenarnya bisa dilihat sebagai gerakan yang mengarahkan perjuangannya kepada dua sasaran sekaligus.
Pertama, sebagaimana tampak dalam
uraian dimuka, NU mengarahkan perjuangannya pada upaya memperkuat
dan mengembangkan amal ibadah
dan akidah yang mendapat serangan-serangan kaum “pembaharu”.
Sementara di dalam
dirinya, NU secara aktif mengembangkan persepsi
keagamaannya yang baru terutama
dalam kaitan dengan amal-amal
sosial,
pendidikan
dan ekonomi.
Perubahan-perubahan di lingkungan NU,
bukan tidak terjadi. Tetapi, khas
NU, perubahan yang dilakukan selalu dilaksanakan dengan kearifan pada sistem
budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kedua, perjuangan NU juga diarahkan kepada kolonialisme Belanda. Pola yang dipakai dalam perjuangan menghadapi Belanda
tampak jelas, banyak bersifat kultural. Dalam
kaitan ini, NU misalnya mengeluarkan kata putusnya yang mengharamkan pantalon dan dasi. Atau disegi yang lain menolak sistem
pendidikan model Belanda dan
sebagainya. Bagi mereka yang
ingin kembali pada
teks Al- Qur’an dan Al-Hadits, sulit menemukan landasan hukum haram atas pantaloon dan dasi. Tetapi bagi mereka yang memahami
metode pengambilan hukum (istinbath) di kalangan ulama NU, maka sikap itu bisa dipahami. Ketika NU memakai hadits; man tasyabbahâ bi qaumin fahuwa
minhum (siapa yang menyerupai suatu golongan, tentu dia merupakan bagian mereka), orang harus memahami siapa
Belanda dalam pandangan kaum muslimin.
Perlawanan kultural terhadap pemerintah kolonial Belanda, seperti
akan diuraikan kemudian, berhasil membentuk kiai dan santri-santrinya menjadi lapisan masyarakat bangsa Indonesia
yang sangat anti penjajah. Pada gilirannya, sikap anti penjajah ini memberikan sumbangan yang sangat besar pada perjuangan menuju
Indonesia.
Demikian, perjuangan NU yang mengambil bentuk kultural
dalam menghadapi penjajah
Belanda, pada akhirnya menjadi watak dasar yang
membedakan NU dengan gerakan-gerakan anti penjajah yang lain. Apalagi dibandingkan dengan SI yang sangat diwarnai oleh watak
politiknya. Namun demikian, ketika
perjuangan politik melawan Belanda makin banyak melibatkan
golongan-golongan di Indonesia. Kontak-kontak
secara langsung antara tokoh-tokoh NU
dengan berbagai kalangan, tidak
bisa dihindari. Apalagi kemudian
NU harus menghadapi kenyataan
bahwa kekuasaan Belanda secara
terus-menerus dipakai untuk mengganggu hal-hal yang dipandang sebagai
prinsip dari kehidupan
bangsa
dan
agama. Dalam
hubungan ini kita melihat NU yang menentang Ordonansi Guru, Ordonansi
Pencatatan Perkawianan 1937 (sejenis UU perkawinan) menolak milisi untuk menghadapi Jepang, ikut menuntut
Indonesia berparlemen, penolakan
kepada usaha penacabutan artikel 177
Indische
Staatregeling
yang
mengandung semangat
diskriminasi golongan dan agama,
dan lain-lain.
Sikap-sikap
itu mendatangkan kesadaran baru, bahwa kekuasaan Belanda secara
terus-menerus dihadapkan kepada Islam. Untuk mengakhiri
kekuasaan yang seperti ini, bagaimanapun
pemerintahan Belanda harus diakhiri.
Dan untuk itu bangsa Indonesia harus
merdeka. Mulai saat itu secara luas,
intensitas keterlibatan
NU kepada perjuangan politik makin
kelihatan. Kebijaksanaan Belanda yang merusak syari’at Islam membawa hikmah
tersendiri, ketika NU bersama Muhammadiyah bersama-bersama membentuk Majlisul Islam A’la Indonesia
(Majlis Tertinggi Islam
Indonesia), yang disingkat MIAI, yang berdiri pada
tanggal 21 September 1937. NU secara resmi masuk sebagai
organisasi anggota MIAI dalam
Konges Al-Islam yang diselenggarakan pada tanggal 26 Februari sampai 1 Maret
1938, walaupun tokoh utamanya ikut mensponsori pendiriannya.
Beberapa hal yang mendorong pertemuan beberapa tokoh Islam
itu antara lain karena adanya
kecaman terhadap Islam oleh seorang penulis dalam sebuah surat kabar yang dirasakan menghina
Islam, soal Palestina yang menghangat, serta soal pengadilan agama dan perkara
waris. Pertemuan yang disponsori Abdul Wahab Hasbullah,
Mas Mansur, Ahmad Dahlan (Kebondalem, Surabaya) dan Wondoamiseno, akhirnya
memutuskan untuk mendirikan suatu badan
federasi permusyawaratan MIAI.
Harry J. Benda menunjukkan bukti bahwa perlawanan terhadap
kekuatan-kekuatan luar, akhirnya
menyempitkan jurang perbedaan
antara kaum reformis
dan ortodoks. Pada tahun 1943,
MIAI
mengundang kongres
Al-Islam, yang merupakan kongres pertama yang penyelenggaraannya dilakukan oleh
organisasi keagamaan terbesar, di saat PSII
mulai merosot pengaruh keagamaannya, seperti
tercermin oleh perpecahan
di antara para pemimpinnya.
Arena
perjuangan politik NU makin melebar ketika Jepang menguasai Indonesia. NU termasuk organisasi
yang dilarang oleh
Jepang, tetapi NU sudah tidak mungkin dibendung. Sarana komunikasi
yang sangat beragam yang dipunyai NU berupa
pranata
dan institusi sosial, tidak
mungkin menghentikan organisasi NU secara material.
Ketika Jepang mewajibkan agar bangsa Indonesia
mengikuti pendewaan terhadap Kaisar Jepang Tenno Haika
dengan cara membungkukkan badan kearah Timur pada waktu-waktu tertentu, NU langsung menyatakan
penolakannya. Seperti juga semua
orang Islam, pendewaan kepada selain Allah, dipandang
sebagai perbuatan syirik oleh NU. KH. Hasyim
Asy’ari secara terbuka menyatakan
penolakan itu. Dan Jepang mencoba menghambat penolakan
ini dengan menjebloskan
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
ke dalam tahanan. Orang-orang Islam dengan peristiwa ini mulai mengetahui, bahwa Jepang tidak memenuhi janjinya
yang menyatakan akan menghormati agama Islam.
Saikeirei yang mereka wajibkan kepada bangsa Indonesia secara luas merupakan
api yang membakar perlawanan umat Islam. KH. Zaenal Musthofa dari Singaparna, seorang anggota NU kemudian mengangkat
senjata, suatu perlawanan bersenjata
yang pertama kali kepada
Jepang.
Perlawanan itu berhasil dipadamkan, tetapi bukan
berarti tidak membawa hasil. Kebijaksanaan Jepang kepada Islam
mulai berubah. Bulan itu juga dua organisasi Islam, NU dengan Muhammadiyah dicairkan pembekuannya.
Ketika MIAI mencapi akhir pengabdiannya dengan dibentuknya federasi
baru Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Dewan Permusyawaratan Muslimin Indonesia),
yang disingkat Masyumi, KH.
Hasyim Asy’ari diangkat menjadi pimpinan tertinggi.
Tetapi dengan ini tidak
serta merta merubah perlawanan NU terhadap Jepang.
Sesudah pada tanggal
7 Nopember 1945 Masyumi dinyatakan menjadi Partai
Politik
dan
NU menduduki Ketua Umum Majlis Syuro, yakni KH. Hasyim
Asy’ari, serta menjadi
salah seorang ketuanya
yaitu KH. Wahid Hasyim, maka masuknya NU ke dalam gelanggang
politik makin dalam. Dibentuknya organisasi latihan kemiliteran
Hizbullah (dengan panglimanya KH. Zainul Arifin, NU) dan masuknya KH. Hasyim Asy’ari
dan KH. Masykur ke dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), kemudian berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memperluas jaringan keterlibatan tokoh-tokoh NU ke dalam perkembang politik Indonesia.
Sikap anti penjajah NU menyebabkan antisipasinya terhadap perkembangan keadaan yang menyangkut Republik
Indonesia demikian cepat. Melihat ancaman terhadap negara yang sudah menyatakan proklamasi
kemerdekaannya, sudah mempunyai kontitusinya sendiri (UUD
1945, di mana NU merasa mempunyai andil dalam proses-proses perumusannya) mendorong organisasi ini pada tanggal 22 Oktober 1945 mengeluarkan sebuah Resulusi Jihad. Sebelumnya NU mengirim
surat resmi kepada pemerintah diantaranya berbunyi: “Memohon dengan sangat kepada
pemerintah Indonesia supaya menentukan
sikap dan tindakan
yang nyata serta sepadan
terhdap tiap-tiap usaha yang
akan membahayakan kemerdekaan agama dan
negara Indonesia, terutama terhadap Belanda dan kaki tangannya. Supaya
pemerintah
melanjutkan perjuangan yang bersifat
“sabilillah”
untuk
tegaknya
Negara
Republik Indonesia
yang merdeka dan beragama Islam.” Pernyataan yang diputuskan dalam suatu rapat para konsul
NU se-Jawa itu berbunyi:
1.
Kemerdekaan
Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal
17 Agustus 1945 wajib
dipertahankan.
2.
Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan
yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.
3.
Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tugas-tugas tentara sekutu (Inggris)
dalam masalah tawanan
perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer
untuk kembali menjajah Indonesia.
4.
Umat Islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata
melawan Belanda dan
kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
5.
Kewajiban tersebut adalah suatu
jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (fardlu ‘ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan sembahyang jama’ dan qasar). Adapun mereka
yang berada diluar jarak tersebut
berkewajiban membantu saudara- saudaranya yang berada dalam jarak
radius 94 km tersebut.
Resolusi Jihad tersebut akhirnya mampu membangkitkan semangat arek-arek
Surabaya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah.
Dengan semangat takbir Allâhu
Akbar yang dikumandangkan oleh Bung Tomo, maka terjadilah perang rakyat yang heroik pada 10 November 1945 di Surabaya,
yang kemudian dikenal dengan Hari
Pahlawan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pergulatan sejarah
NU
yang
multidimensional memberi warna tersendiri dalam sejarah republik
ini. Sehingga dibutuhkan kajian
yang utuh dan mendalam
untuk menyelami setiap momen-momen yang melibatkan
NU dalam konteks kebangsaan. Berdasarkan beberapa riset yang ada, tema mengenai Resolusi Jihad NU 1945, belum banyak peneliti
yang secara utuh
mengupas peran Resolusi Jihad. Ada
beberapa buku karya peneliti Barat tentang NU tetapi tidak banyak menyinggung momentum Resolusi Jihad secara mendalam.
Mereka adalah Martin van Bruinessen, Andree
Feillard, Karel A. Steenbrink, Greg Fealy,
Greg Barton dan masih ada beberapa
peneliti Barat yang mengangkat tema
ke- NU-an, namun sangat
terbatas data-data tentang Resolusi
Jihad. Demikian
juga ada beberapa
artikel
dari
A.
Khoirul
Anam
dan
Hairus Salim
HS, tentang
Resolusi Jihad NU
1945, namun belum menjadi
karya utuh yang secara spesifik berisi peran
Resolusi Jihad NU 1945.
Sejak sebelum lahirnya, Indonesia merupakan
negara plural yang didiami penduduk
yang beraneka ragam suku, adat-istiadat, bahasa daerah,
dan menganut
berbagai agama,
yang tinggal di
lebih 17 ribu
pulau, memanjang dari barat hingga timur hampir seperdelapan lingkar bumi. Jam’iyah Nahdlatul Ulama merupakan salah
satu komunitas
yang hidup di situ, dan sejak mula menyadari
dan memahami bahwa keberadaannya merupakan bagian tidak terpisahkan dari keanekaragaman itu. Karena itu NU terus mengikuti dan ikut menentukan denyut
serta arah bangsa
ini berjalan. Karena itu,
segala permasalahan yang menimpa
bangsa Indonesia juga ikut menjadi keprihatinan NU. Ibarat satu tubuh,
bila salah satu bagian menderita, maka seluruhnya ikut merasakan.
Dalam
kaitan ini, Nahdlatul Ulama mendasari
dengan empat semangat: (1) ruh al-tadayyûn (semangat beragama yang dipahami, didalami dan diamalkan), (2) ruh al-wathâniyah (semangat cinta tanah air), (3) ruh
al- ta’addudiyah (semangat menghormati perbedaan), dan (4) ruh al-insâniyah (semangat kemanusiaan).
Keempat semangat
itu
NU
selalu melekat
dan terlibat dalam proses perkembangan Indonesia.
Ruh
al-tadayyûn menunjukkan bahwa NU mendorong warganya untuk senantiasa meningkatkan pemahaman nilai-nilai agama. Dengan nilai-nilai
keIndonesiaan yang terkandung
dalam Islam, NU menjadi barometer kegiatan beragama yang moderat (tawâsuth). Dengan semakin banyaknya konflik kekerasan yang disinggungkan dengan agama, NU harus lebih intensif terus mengembangkan sikap tawâsuth ini ke masyarakat, tanpa pandang perbedaan agama dan keyakinan mereka.
Pada individu Nahdliyin harus
tertanam kesadaran (ghirah) Islamiyah (kepekaan
membela eksistensi Islam) dan tetap menghormati orang lain yang memeluk
agama yang berbeda.
Keterlibatan
NU dalam pergerakan kebangsaan dan perjuangan
kemerdekaan Indonesia, NU telah
secara aktif telah
menerapkan semangat cinta tanah air atau ruh al-wathâniyah. Bahkan, ketika sebagian umat muslim mengajukan syari’at
Islam sebagai ideologi negara dengan memasukkan
tujuh kata dalam Pancasila yang berbunyi “dengan
kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluknya”, NU rela menghilangkannya demi persatuan bangsa tanpa
harus mengorbankan aqidah.
Ini gambaran jelas betapa
NU sangat konsisten dengan perjuangan para pahlawan yang berasal
dari berbagai macam
latar belakang agama dan etnis yang
ikut berjuang memerdekakan
bangsa Indonesia dari penjajahan. Dengan
demikian,
sudah menjadi keyakinan warga Nahdliyin
bahwa
Pancasila
merupakan wujud upaya umat
Islam
Indonesia dalam mengamalkan
agamanya.
Dengan melihat semangat cinta tanah air atau ruh al-wathâniyah tersebut, NU
sejak awal menyadari bahwa
keanekaragaman bangsa ini harus dipertahankan. Bagi NU, keanekaragaman bangsa Indonesia
bukanlah penghalang dan kekurangan,
melainkan kekayaan dan
peluang, sehingga warga Nahdliyin
menganggap perlu agar seluruh warganya
selalu menjunjung tinggi untuk menghormati keanekaragaman itu. Di dalam Islam
sendiri terdapat berbagai aliran dan mazhab yang berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan perbedaan etnis dan
ras serta bahasa yang dimiliki oleh masyarakat
Indonesia.
Perbedaan
di mata NU bukan untuk
dipertandingkan dan diadu mana yang
terbaik dan mana yang terburuk. Perbedaan itu, sebaliknya, ditempatkan
sebagai modal bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang besar. Di
sini dapat dilihat, betapa konflik etnis dan aliran keagamaan dan keyakinan
tidak pernah menjadikan NU patah arang,
justru
dengan
konflik-konflik
itu
NU
selalu mendorong semua pihak agar menghormati perbedaan yang ada, karena memang
bangsa ini bangsa yang multikultural,
bangsa yang kaya akan keanekaragaman
agama,
etnis, ras dan bahasa. Semangat ini biasa disebut dengan ruh al-ta’addudiyah (semangat menghormati perbedaan).
Ruh al-Insâniyah
adalah semangat yang
mendorong setiap
warga negara Indonesia untuk menghormati setiap hak manusia.
Meski NU merupakan organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia bahkan
di dunia, namun kebesaran itu tidak menjadiakn NU melihat organisasi masyarakat dan agama yang kecil dengan sebelah mata.
Kebesaran ini, bagi NU karena adanya
pengakuan hak dan derajat yang sama kepada semua warga negara,
yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi pandangan
orang tentang penghargaan NU
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang pada akhirnya orang- orang
yang sebelumnya tidak menjadi warga NU kemudian beralih menjadi
warga Nahdliyin.
Keempat
semangat inilah yang menjadi kunci NU kemudian menjadi
sebuah organisasi kemasyarakatan Islam
terbesar di Indonesia dan dunia. Dengan demikian, sebuah kemunduran jika NU melupakan empat semangat tersebut.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Setelah
menyimak pendahuluan dan pembahasan diatas dalam
menelusuri peristiwa Resolusi Jihad
NU atas
peran
politik
dan
militernya
dalam mempertahankan
kedaulatan
NKRI, maka terdapat beberapa kesimpulan.
Setidaknya kesimpulan tersebut akan dijelaskan dalam dua hal secara terpisah dan saling
berkaitan.
Pertama,
Resolusi Jihad NU memiliki
peran yang sangat vital dalam mempertahankan kedaulatan NKRI yang selama berabad-abad dijajah oleh bangsa Barat yang kafir. Resolusi tersebut adalah keputusan
politik NU yang memandang
seruan jihad fî sabîlillâh sesuai dengan semangat nasionalisme NU yang selalu mengutamakan kepentingan kebangsaan. NU yang mengambil
keputusan Resolusi Jihad-nya
melalui rapat
konsul-konsul se-Jawa
dan Madura, sekaligus menjadi
keputusan Muktamar di Purwokerto berjihad untuk
kepentingan bangsanya.
Sebagaimana makna
jihad yang sering dikutip oleh Gusdur yang diambil dari kitab Fathul
Mu’in yang menyebutkan salah satu pengertian jihad sebagai, “daf’u dlarâr ma’şûmin
muslimân kâna au ghaira muslim” (melindungi kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non
Muslim). Dalam konteks
Resolusi Jihad, pengertian tersebut sepenuhnya menjadi rujukan
yang
kemudian diamalkan oleh
NU.
Yakni
berjihad melindungi kehormatan seluruh
bangsa Idonesia, baik yang muslim
maupun non muslim,
asalkan satu bangsa, satu nasib, seperjuangan.
Resolusi
tersebut adalah bagian dari keputusan politik NU, namun sekaligus peran militer NU dalam melahirkan tentara nasional. Laskar santri
(Hizbullah) dan laskar kyai (Sabilillah), kelak banyak menduduki peran strategis dalam posisi militer nasional.
Namun sayang, sejak tahun 1950-an,
tentara santri semakin tersingkir dan disingkirkan, sampai kemudian habis.
Kedua, sejarah
membuktikan
bahwa Resolusi Jihad benar-benar menjadi
faktor
penentu
berlanjut
atau tidaknya kemerdekaan
Indonesia. Artinya dampak dari Rssolusi Jihad
yang nyata adalah kemerdekaan
Indonenesia yang sampai sekarang
dinikmati oleh seluruh
lapisan bangsa Indonesia. Sementara
dampak bagi internal NU adalah
banyaknya santri-santri yang kemudian direkrut menjadi bagian
tentara nasional. Selain itu juga
banyak kyai yang mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah.
Namun
sayangnya penghargaan tersebut menjadi
tidak berarti, karena penguasa negeri ini melupakan sejarah Resolusi Jihad dari catatan
tinta emas sejarah. Justru peran NU terutama dalam Resolusi Jihad, termasuk banyak
dukungan NU terhadap kedaulatan dan persatuan
bangsa disembunyikan
dari catatan sejarah. Bahkan kekuasaan selalu tidak memihak pada warga NU,
yang nenek moyangnya sudah banyak berkorban
untuk tanah air bersama ini.
Di medan politik
NU tersingkir, dalam
hal kebijakan pendidikan warga NU selalu
dinomorduakan. Di lapangan kerja,
warga NU banyak yang tidak terakomodir karena ijazah pesantren
ditolak di dunia kerja. Bahkan ada pihak-
pihak yang berambisi untuk menenggelamkan NU dari tanah air, memutus
ahli waris NU dari tradisi-tradisi nenek moyangnya. Hal ini menjadi penting
untuk menjadi refleksi
bersama, khususnya
generasi NU yang seharusnya
memetik buah kebahagiaan, karena
benihnya sudah ditanam nenek moyangnya.
Bangsa
Indonesia semuanya harus bertanya,
seandainya tidak ada Resolusi Jihad NU yang mengobarkan
jihad untuk melawan Sekutu,
mungkinkah hari ini kita
semua dan anak cucu bisa menghirup udara Indonesia dengan merdeka? Tetapi mengapa catatan
sejarah tidak menganggapnya sebagai pengorbanan. Saatnya
sekarang, semuanya menuju ruang rekonsiliasi. Ruang untuk menempatkan
orang-orang yang benar-benar berjasa dan setia kepada bangsanya sebagai
pahlawan. Bangsa ini harus memiliki kearifan
untuk saling menghargai, jasa apapun dan oleh siapapun. Apalagi jasa
itu bukan sekedar
jasa menyelamatkan nyawa
satu atau dua orang. Tetapi menyelamatkan kedaulatan
dan masa depan bangsa yang terdiri
dari berbagai etnis, agama dan
golongan.
Saran-saran
Resolusi
Jihad NU telah mengorbankan jiwa dan
raga para pejuangnya untuk kemerdekaan tanah airnya. Namun sampai hari ini, banyak generasi
bangsa yang tidak mengenal
tentang tragedi bersejarah itu, bahkan generasi NU sendiri tidak mengerti. Hal ini dikarenakan, para
sejarawan nasional atas kepentingan penguasa tidak mencatat
Resolusi Jihad NU dalam
tinta emas sejarah.
Oleh karena itu untuk para sejarawan,
saatnya sekarang sejarah harus berbicara jujur, untuk mengajarkan kepada
generasi bangsa bahwa Resoluasi Jihad NU adalah pengorbanan yang besar dari para kyai dan santri yang setia dan mencinati
tanah airnya. Karena orang-orang
pesantren selalu meyakini hadis
Rasulullah saw bahwa mencintai tanah
air adalah sebagian dari iman. Dengan
demikian
semua generasi bangsa bisa duduk bersama untuk saling menghargai peran masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, As’ad Said, Pergolakan di Jantung Tradisi:
NU yang Saya Amati, Jakarta: LP3ES, 2008
Amin, M. Masyhur, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, Yogyakarta: al-Amin Press, 1996
Anam,
A.
Khoirul,
“Kilas
Resolusi
Jihad
dan
Peristiwa
10
November,”
http://www.nu.or.id, akses tanggal 20 Mei 2009
Haidar,
M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam
di
Indonesia:
Pendekatan
Fikih
dalam Politik, Jakarta: Gramedia,
1998
HS, Hairus Salim, “50 Tahun Resolusi Jihad NU”, dimuat dalam
SKH. Kompas edisi Jum’at,
10
November 1995. Lihat,
apakabar@access.digex.net,
akses
tanggal 20 Mei 2009.
Masdar, Umaruddin, Pemikiran Politik 9 Ulama Besar NU: Tradisi NU, Jalan
PKB, Jakarta: DPP PKB, 2008
Moesa, Ali
Maschan, Nasionalisme
Kyai; Konstruksi Sosial
Berbasis Agama, Yogyakarta:
LKiS, 2007
Pengurus Wilayah LTN NU Jawa Timur, Ahkamul
Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan
Muktamar, Munas dan Konbes NU (1926-1999), Surabaya: LTN NU Jawa Timur bekerjasama dengan Penerbit Diantama, 2005
Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Surabaya: Khalista, 2007
makalahnya rapi dan lengkap kak
BalasHapusnet axisworld co id