Senin, 12 Mei 2014

PSIKOLOGI PROYEKTIF

Teori Apperceptive Distortion



A.    PENDAHULUAN
Dr. Leopold Bellak di dalam papernya mencoba menelusuri sejarah perkembangan dari konsep proyeksi yang pada saat sekarang ini sudah sedemikian luas dan kabur arti penggunaannya. Di dalam usaha verifikasi eksperimental pembuktian terhadap konsep klinis mengenai proyeksi seperti yang dikemukakan Freud, ia berpendapat bahwa pentinglah kiranya untuk mengadakan re-definisi terhadap proses-proses persepsual yang terkandung di dalam proyeksi itu, dan inilah yang merupakan dasar dari metode proyekti f.
Beberapa definisi awal tentang konsep projection  sebagai suatu proses defensif, seperti yang dikemukakan oleh Freud, Frank, dan di dalam eksperimen Bealy, Bronner, dan Bowers.

Definisi projection   berdasarkan hasil penyelidikan-penyelidikan eksperimental yang kemudian, merupakan verifikasi terhadap definisi-definisi  awal, dan ditemukakannya istilah apperception  dan apperceptive  distortion  sebagai terminologi  pengganti istilah projection  (Dr. Leopold Bellak), dengan pengertian yang tidak terbatas pada proses defensif  semata-mata.
Bellak mengemukakan istilah apperceptive   psychology   dan apperceptive   distortion, sebagai istilah yang lebih tepat untuk digunakan di dalam pembahasan ini. Bellak berusaha menggabungkan konsep dasar psikoanalisis, khususnya mengenai apperceptive   distortion ini, dengan konsep teori belajar dari Gestalt, melalui penyelidikan dan eksplorasi-eksplorasi eksperimental.

B. APPERCEPTIVE DISTORTION
Proyeksi merupakan suatu istilah yang banyak digunakan di dalam bidang-bidang psikologi klinis, dinamis dan sosial. Frank mengemukakan bahwa metode proyektif adalah merupakan suatu tipe pendekatan yang bersifat dinamis dan holistic  di dalam disiplin psikologi.
Istilah proyeksi pertama kali dikemukakan oleh Freud, di dalam karyanya The Anxiety Neurosis  (1894), dimana ia mengemukakan bahwa:
Psyche akan mengembangkan suatu kecemasan neurotik apabila psyche merasa tidak berdaya untuk mengatasi rangsangan-rangsangan (seksual) yang berasal dari dalam (endogenous), sehingga rangsangan-rangsangan tersebut akan diproyeksikan ke dunia luar.
Di dalam karyanya On the Defense Neuropsychoses (1896),  Freud memberikan elaborasi terlebih jauh  terhadap konsep proyeksi. Dikemukakannya secara lebih eksplisit bahwa :
Proyeksi adalah suatu proses pemetaan (pelampiasan ke luar) dorongan-dorongan, perasaan-perasaan dan sentirnen-sentimen individu kepada orang lain atau ke dunia luar, sebagai proses yang bersifat defensif, dimana individu yang bersangkutan tidak menyadari munculnya gejala yang di luar kehendaknya itu (undesireable phenomena).
Elaborasi lebih jauh lagi, dapat dilihat pada kasus Schreber, penderita paranoia, yang dikemukakan Freud sebagai berikut :
Penderita paranoia tersebut mempunyai kecenderungan homoseksual, dimana karena adanya tekanan dari super ego, ia mentransformasikan suatu reaksi-formasi dari  I love him menjadi I hate him. Proyeksi benci kepada objek yang tadinya dicintai, disebabkan karena super ego tidak memperkenankan benci tersebut muncul di kesadaran dan muncul terealisir, dan lagi pula ia merasa bahwa bahaya dari dunia luar akan lebih menekan ketimbang bahaya dari dalam, bila benci itu sampai muncul. Jadi di sini, super ego menghambat ekspresi benci berdasarkan norma-norma moral yang dimiliki individu yang bersangkutan.
Healy, Bronner dan Bowers mendefinisikan proyeksi sebagai :
Suatu proses defensif yang dikendalikan oleh prinsip kenikmatan (pleasure-principle), dimana ego, yang berpedoman kepada dunia luar, akan merasa tercela bila keinginan­ keinginan dan idea-idea ketidaksadaran muncul ke dalam kesadaran.
Kalaupun konsep proyeksi yang mulanya berasal dari apa yang terdapat pada psikosis dan neurosis, diterapkan kepada bentuk-bentuk tingkah laku yang lain, seperti yang dikemukakan Freud di dalam The Future of an illusion dan Totem and Taboo, maka proyeksi juga  merupakan suatu mekanisme yang terpenting di dalam pembentukan kepercayaan beragama.
Bahkan di dalam konteks kebudayaan, dikatakan pula bahwa proyeksi berperan sebagai suatu proses defensif terhadap kecemasan.
Di dalam pustaka-pustaka psikoanalisis, sering dijumpai bentuk defense mechanism, dimana proyeksi adalah merupakan proses defensif yang paling penting, namun sangatlah sedikit penelitian-penelitian  yang pernah  dilakukan terhadap konsep proyeksi tersebut, sehingga  Sears  mengatakan   : Mungkin  satu-satunya  istilah  yang  paling  tidak jelas pengertiannya di dalam teori psikoanalisis adalah istilah proyeksi.
Aplikasi konsep proyeksi paling banyak dilakukan di dalam bidang psikologi klinis yang kita kenal sebagai teknik proyektif. Termasuk di dalamnya adalah tes Rorschach, TAT, tes Szondi, Sentence Completion Test, EPPS, dan lain-lainnya.
Dasar asumsi yang melandasi tes-tes tersebut adalah, bahwa bila subjek dihadapkan pada sejumlah stimulus yang ambiguous (kabur) dan ia diminta untuk memberikan respon
terhadap  stimulus  itu, subjek  akan memproyeksikan   need dan press-nya sebagai responnya terhadap stimulus tersebut.
Suatu penyelidikan eksperimental telah dilakukan, di dalam usaha untuk menjelaskan fenomena proyeksi, dan dilaporkan sebagai berikut :
     Pada eksperimen yang pertama, menggunakan sejumlah subjek dan kepada mereka disajikan sejumlah kartu-kartu TAT, dimana eksperimen berjalan di dalam kondisi yang terkontrol.
   Pada eksperimen kedua, subjek-subjek dikenai posthypnotic sewaktu ia menceritakan
tentang gambar pada kartu TAT, agar ia dapat merasakan agresinya (tanpa disadari individu).

Berdasarkan kedua eksperimen tersebut, subjek menunjukkan tingkah laku seperti apa yang dikemukakan di dalam hipotesis proyeksi dan pada tingkah laku tersebut menunjukkan adanya peningkatan agresi (bila tingkah laku pada eksperimen kedua dibandingkan dengan yang pertama). Hal itu terjadi karena di dalam kondisi posthypnotic, sewaktu diminta untuk bercerita, subjek berada dalam keadaan yang teramat sedih dan depresif, sehingga mereka memproyeksikan sentimen-sentimen mereka ke dalam cerita pada kartu.
Sampai pada eksperimen yang pernah dilakukan ini, tidak terdapat adanya perubahan terhadap konsep proyeksi bahwa kenyataan proyeksi adalah sebagai suatu proses pemetaan (pelampiasan ke luar) sentimen-sentimen yang tidak dapat diterima ego, ke dunia luar.
Kemudian eksperimen tersebut dilakukan dengan variasi yang lebih luas, dimana di dalam keadaan posthypnotic  subjek merasakan suatu kegembiraan yang sangat. Hal ini berarti bahwa rasa gembira tersebut juga dapat diproyeksikan ke dalam cerita-cerita pada kartu.
Sampai pada eksperimen yang akhir ini, sebenarnya tidaklah dapat dikatakan bahwa konsep proyeksi hanya didasarkan sebagai suatu defense mechanism, karena tidak terdapat kebutuhan atau usaha ego untuk "menekan secara disruptif" terhadap efek-efek kegembiraan.
Sebenarnya, apabila kita baca kembali karya Freud secara lebih cermat (seperti yang dilakukan Dr. Ernst Kris), terlihat pula bahwa Freud juga memberikan antisipasi terhadap dasar pemikiran di atas itu, seperti yang dikemukakannya di dalam Totem and Taboo, yaitu:
Proyeksi tidaklah secara khusus terwujud sebagai usaha untuk mengadakan defense, karena ternyata, walaupun tidak ada konflik dapat pula terjadi proyeksi. Proyeksi inner­ perception kepada dunia luar, merupakan suatu mekanisme yang primitif, yang juga ikut mempengaruhi sense-perception (persepsi indera), yang memberikan andil yang besar di dalam membentuk dunia luar. Di dalam kondisi-kondisi yang diliputi oleh ketidakpastian, inner-perception yang berupa proses-proses ideasional dan emosional, yang berasal dari inner-world, bersama-sama sense-perception (persepsi indera) membentuk dunia luar.
Selanjutnya dikemukakan bahwa sesuatu yang kita proyeksikan ke dunia luar (seperti pada manusia-manusia primitif), dapat berubah bentuk menjadi sesuatu yang lain itu hanya dikenal oleh indera kita saja, karena sebenarnya bentuk asli dari sesuatu itu bersifat latent,
tetapi  dapat  dimunculkan    kembali.   Dan  sesuatu  yang  bersifat   latent itu  disebut   sebagai coexistence dari persepsi  dan memorik,  atau bila digeneralisasi,   dikatakan  sebagai  eksistensi proses  ketidaksadaran   psikis  yang  muncul  ke alam sadar.
Dasar pikiran Freud di dalam penjelasan  di atas adheah, bahwa percept memory (ingatan masa lalu) mempengaruhi   yang sekarang  terhadap  suatu stimulus.  Jadi interpretasi  TAT juga berdasarkan   asumsi  Freud  tersebut.
Misalnya,   persepsi   masa  lalu  subjek  terhadap  ayahnya  akan  mempengaruhi   persepsi subjek  terhadap  figur  ayah di dalam  gambar  TAT.
Jelaslah  sekarang,  bahwa percept memory: akan mempengaruhi   yang sekarang  terhadap stimulus,  dan hal tersebut  tidak dapat  secara sempit  dikatakan  sebagai  suatu usaha  defensif saja, seperti yang dikemukakan   di dalam definisi proyeksi  yang asli (mula-mula).  Di sini kita dapat mengasumsikan   bahwa, semua persepsi yang sekarang akan dipengaruhi  kedua macam persepsi  itu, merupakan   bidang  yang dibahas  tersendiri  di dalam  Psikologi  Kepribadian.

1 komentar: